Jumat, 20 Mei 2011

APA YANG DAPAT DILAKUKAN DALAM MENJEMBATANI ANTARA SEKULARISME DAN AGAMA AGAR BISA BERJALAN SEIRINGAN

Nama                    : Ywardhana Septiani Bulo
NIM                      : 01092270
Mata kuliah           : Sosiologi Agama
Pengajar                : Farsijana Adeney-Risakotta, Ph.D.
                                                                                                                                                               
APA YANG DAPAT DILAKUKAN DALAM MENJEMBATANI ANTARA SEKULARISME DAN AGAMA AGAR BISA BERJALAN SEIRINGAN

Menurut Prof. Giri, “...sekularisme tidak bisa menjamin toleransi dalam masyarakat mejemuk. Tetapi agama-agama juga gagal sebagai harmoni dalam bangsa-negara pluralis....”[1]
Mungkin sangat sulit dalam menyatuhkan antara keadaan dunia yang sekulerisme dan agama. Lihat saja, sekularisme sekarang ini terlihat sudah tidak lagi memiliki  rasa hormat dan mengabaikan akan keberadaan agama disampingnya. Dunia sekularisme yang hadir sekarang ini telah menjadi alat untuk memimpin dengan kekuasaannya dan menindas masyarakat beragama. Namun disisi lain, agamapun hadir dalam memaksakan kehendaknya (dengan sikap totaliter) kepada rakyat atas keyakinannya sendiri, dan terkadang kembali menyalahkan akan dunia sekularisme. Agama yang seharusnya hadir sebagai pembawa damai(Syalom) dan menyatuhkan keadaan yang buruk dalam dunia justru hadir dengan keadaan yang sebaliknya, berusaha untuk memimpin dan berkuasa dengan pahamnya sendiri, saya sangat setuju dengan apa yang diungkapkan oleh Prof Giri dan Ibu Adeney-Risakotta bahwa pemisahan agama dan kekuasaan sangat dibutuhkan, agama seharusnya mengosongkan diri dari keinginan berkuasa. Serta dunia sekularisme yang begitu sinis terhadap agama yang seharusnya mendukung kehadiran agama malah memandangnya sendiri sebagai sesuatu yang menentang mereka. Lantas bagaimana mempersatukan antara keduanya agar dapat berjalan seiringan, serta usaha yang harus dilakukan dalam menjembatani keduanya?? Meski penyatuhan akan sekularitas dan agama pada akhirnya akan memperoleh jalan buntu, namun bukan berarti kita akan berdiam diri saja. Prof Giri dalam artikel Ibu Adeney-Risakotta, mengusulkan adanya semacam evolusi spiritual yang tidak terkait dengan agama tertentu, tetapi dibangun melalui “transendensi”, praktik sosial non-dualisme. Dari hal ini dapat menolong agar agama dan sekularisme dapat berjalan bersamaan, namun tidak menojolkan agama tertentu saja.
Salah satu contoh praktek sosial dengan evolusi spiritual dalam dunia sekularitas sekarang ini yaitu, dari hasil presentasi kelompok kami yang melakukan penelitian kepada sebuah sekolah, SDKE Mangunan yang terletak di desa Manguan, Kelurahan Kalitirto Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. SDKE Mangunan adalah sebuah lembaga pendidikan yang memiliki konsentrasi kepada pendidikan bagi kaum miskin, namun pada tahun 2004, SDKE Mangunan mulai terbuka untuk umum, baik kepada anak yang autis, hiperaktif, cacat, dan kaya, sistem yang dipakai oleh sekolah ini adalah sistim subsidi, jadi para murid akan membayar iuran sekolah mereka tergantung dari kemampuan orang tua dalam membiayai anaknya selama sekolah di SDKE Mangunan ini.[2] Sebenarnya SDKE Mangunan sendiri didirikan dengan dasar agama Katolik dan atas konsep dasar pemikiran dari Romo Mangun yang prihatin  akan warga sekitar Mangun yang belum sempat mengecap pendidikan dikarenakan faktor biaya. Karena jika meneliti lebih jelas lagi bahwa orang tua murid kebanyakan hanya berpenghasilan minim. Dan pada akhirnya, didirikanlah sekolah ini. Namun di sekolah ini, mengajarkan konsep keadilan dengan yang berbeda. Disekolah ini menerapkan paham non-dualisme. Meski dibangun berdasarkan atas agama Katolik, namun siswa yang non-Katolik tidak dipaksakan atau diajarkan pendidikan agama Katolik. Di sekolah ini pendidikan agama ditiadakan agar tidak adanya agama tertentu yang akan ditonjolkan. hal ini juga dilakukan agar sekolah ini tidak jatuh kepada humanisme, karena hanya akan kembali kepada visi dan misinya[3]. Sekolah ini juga sangat disambut hangat oleh masyarakat disekitarnya dan tidak ada jarak sama sekali yang memisahkan sekolah dan masyarakat setempat. Sekolah ini patut diacungi jempol, karena usahanya yang keras demi memperjuangkan pendidikan bagi masyarakat kecil. Sekolah ini merupakan sebuah contoh dari komunitas agama sebagai sebuah institusi masyarakat yang berevolusi. Saya mengatakan sekolah ini patut diacungi jempol karena dengan kuatnya sekolah ini dapat berdiri ditengah keprihatinan terhadap dunia pendidikan lebih sering mengemuka. Dunia pendidikan tak hentinya dirudung hujan kritik. Baik dari konsep kurikulum, pelaksanaan di lapangan, berkembangnya kapitalisme dalam pendidikan, dan juga campur tangan birokrasi yang berlebihan. Pendidikan mestinya mengabdi pada kepentingan dan pemekaran diri anak, tapi kenyataannya mengabdi pada kepentingan industri, pemerintah, gengsi orang tua dan kepentingan lain tanpa menghargai kebutuhan anak. Berbagai masalah pendidikan itu di era reformasi tidak berkurang. Pemetaan persoalan-persoalan pendidikan melulu pada dari hal-hal sekunder dan teknis, seperti gedung sekolah hancur, nilai angka, dan kertas sertifikasi. Dan sekolah ini mampu berkembang dan bertahan di dalam dunia sekularitas yang dengan persaingan-persaingan yang begitu ketat dan tajam.
Jadi kesimpulan saya, agama dan sekularisme janganlah dipandang sebagai sesuatu yang sulit berjalan seiringan dan selalu bertentangan. (meski terkadang ada beberapa faktor yang menyebabkan keduanya masih sulit bersatu, salah satunya yakni sekularisme yang lebih mengarah kepada hal dunia dan agama lebih mengarah kepada hal yang bersifat rohani). Keduanya dapat berjalan seiringan dengan cara evolusi spiritual yang akan membantu mengatasi ketegangan kedunya dari pandangan yang berbeda. Menurut hemat saya, sekularisme dan agama boleh-boleh saja saling memberikan kritikan, namun kritikan yang diberikan harus saling membangun demi kesejahteraan masyarakatnya dan rasa kebersamaan. Jangan sampai hal ini juga diikat hanya oleh karena adanya kepentingan individu-individu tertentu didalamanya. Sayapun setuju bila sekularisme yang ada sekarang ini harus memberikan rasa hormat mereka terhadap agama dan dunia mereka, sebaliknya agama juga harus menghargai akan perkembangan keadaan dunia sekarang yang semakin modern, namun agama boleh mengkritik sekularisme juga demi masyarakat yang adil dan beretika.













Saya berterima kasih kepada Ibu Farsijana Adeney-Risakotta yang dalam hal ini sebagi Dosen pangajar mata kuliah Sosiologi Agama, yang telah menolong saya dalam memahami mata kuliah ini dan terlebih telah menolong saya dalam mengasah kemapuan  dalam memahami bahwa agama sebagai suatu fenomena yang berakar dalam masyarakat serta metode pangajaran yang mengajak mahasiswa langsung terjun ke lapangan untuk melakukan penelitian, dan dari penelitian ini saya pikir sangat bermanfaat demi pengalaman baru dan bertambahnya wawasan kita. Mata kuliah ini juga sangat membantu saya dalam memahami akan mata kuliah yang lain. God Bless..:-)


[1] Lihat komentar penelitian Adeney-Risakotta, evolusi spiritual sebagai persyaratan masyarakat sekular?, hal 128
[2] Lihat Paper Presentasi Kelompok 10, Komunitas agama(Kanisius) membangun pelayanan sosial yang berkeadilan, tgl 14 Apr 2010
[3] Visi dan Misi SDKE Manguan: Menghadirkan pusat pendidikan yang mendidik tidak hanya dari segi akademis tetapi mangasah kreatifitas, dan memperhatikan kaum dari kelas sosial menegah ke bawah sebagai sasaran nara didik yang utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar