Minggu, 22 Mei 2011

Ritual Kematian dan Kepercayaan Masyarakat Tana Toraja

Ritual Kematian dan Kepercayaan
 Masyarakat Tana Toraja
(Aluk Todolo)




“ANTROPOLOGI AGAMA


               Nama                         : Ywardhana S. Bulo
               NIM                             :01092270
Dosen Pengampu  : DR. Kees de Jong

UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
THEOLOGIA 2009/2010


Pendahulu

Setiap orang dalam hidupnya pasti mempunyai keyakinan atau kepercayaan yang masing-masing akan  dipakai sebagai pegangan hidup mereka. Yang dimaksud sebagai keyakinan atau kepercayaan disini yakni Religi. Religi muncul karena adanya kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup manusia yang pada akhirnya akan menimbulkan pertanyaan akan apa yang terjadi dibalik kejadian itu dan pada akhirnya bagaimana religi ini akan membentuk agama yang akan dijadikan sebagai pedoman hidup, (Agama Primitif).
Dalam paper ini, saya akan mencoba membahas mengenai aluk atau kepercayaan (Agama suku) dan ritual kematian masyarakat Tana Toraja yang telah membentuk mereka dan menjadikannya sebagai pedoman hidup(nilai-nilainya). Paper ini dibuat atas pemenuhan tugas paper akhir semester (II) mata kuliah Antropologi Agama dengan dosen pengajar, Bpk DR. Kees de Jong. Fokus pembahasan dari paper ini yakni mengarah kepada asal mula kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tana toraja (agama primitif) dan ritus kematian serta ritual-ritual yang dilakukan dalam upacara kematian dan bagaimana Gereja menanggapi hal ini, (dalam hal ini Gereja Toraja).
1.              Kepercayaan masyarakat Toraja (agama suku) atau Aluk Todolo
2.              Ritual Kematian
3.              Kesimpulan
4.              Respon Gereja “Gereja Toraja” dalam menghadapi adat-adat dan ritus-ritus kematian   
          dalam masyarakat Tana Toraja.

I.   Kepercayaan masyarakat Tana Toraja (Agama Suku), atau Aluk Todolo

Aluk adalah istilah umum yang diterjemahkan langsung dari istilah Agama sedangkan untuk pengertian agama suku kita akan memakai istilah umum yang sudah dikenal yaitu Aluk Todolo. Aluk Todolo berarti agama para leluhur yang masih dianut oleh sebagian masyarakat Toraja. Dalam kamus Toraja-Indonesia Aluk berarti
·         Agama, hal berbakti kepada Allah dan Dewa
·         Upacara adat atau agama, adat istiadat
·         Perilaku, tingkah
    Jadi dari pengertian diatas, dapat pula disimpulkan bahwa aluk mencakup kepercayaan, upacara-upacara peribadatan(menurut tata cara yang ada berdasarkan ajaran agama yang bersangkutan), adat istiadat dan tingkah laku sebagai ungkapan kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari. Aluk bukan hanya mengarah kepada ajarannya, namun juga kepada upacara (ritus) dan larangan atau pamali. Menurut kepercayaan Aluk Todolo (awal mula kepercayaan), aluk (agama) dimulai di langit (alam atas) di kalangan dewa-dewa (dalam bahasa Toraja disebut Aluk tipondok do tanggana langi’). Seluruh kehidupan di langit tidak terlepas dari kaidah aluk. Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana. Menurut mitos yang hingga kini tetap diyakini di kalangan masyarakat Toraja, nenek moyang mereka yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari nirwana.[1]
Hal ini dijelaskan dalam mitos Toraja. Dari langit, aluk dengan segala kelengkapannya dibawah turun ke bumi oleh manusia. Itulah yang dikenal dengan Aluk sanda pitunna: Aluk 7777777. Aluk 7777777 itu mencakup ritus keagamaan (Rambu tuka’> Rambu= Asap dan Tuka’= naik, yang berarti suatu kiasan persembahan yang ditujukan kepada Puang Matua, dewa-dewa dan arwah(jiwa) para leluhur yang telah menjadi dewa(Tomembali Puang) yang persembahan dilaksanakan dari pagi hari sampai tengah hari. Sedang Rambu solo’> Rambu=Asap dan solo’= Turun, yaitu suatu kiasan persembahan yang ditujukan kepada jiwa orang yang sudah meninggal dan segala sesuatu yang dikorbankan baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa ikut dibawah oleh jiwa tersebut ke Puya(dunia oarang mati) dan upacara dimulai saat matahari condong ke Barat sampai petang).[2] Aluk- aluk ini juga sering disebut sebagai Aluk Nenek  karena diwarisakan oleh para nenek moyang orang Toraja. Dan jumlah 7777777 adalah sempurna karena mencakup semua bidang kehidupan. Ada banyak macam aluk yang dipercayai oleh masyarakat Toraja yakni,
·         Aluk mellolo tau (Aluk yang menyangkut kelahiran manusia sampai dewasa)
·         Aluk rambu tuka’ (Aluk yang menyangkut pesta)
·         Aluk rambu solo’ (Aluk yang menyangkut kematian, pesta pemakaman)
·         Aluk Bua’ (Aluk yang berhubungan dengan pesta suka cita)
·         Aluk tanan pasa’ (Aluk yang berhubungan dengan pasar)
·         Aluk tedong (Aluk yang berhubungan dengan kerbau)
·         Aluk Pare (Aluk yang berhubungan dengan padi)
·         Aluk bangunan banua (Aluk yang menyangkut pembangunan rumah)
·         Aluk padang (Aluk yang menyangkut tanah)
Masing-masing aluk mempunyai tuntunan dan larangan (pamali) dan semuanya tidak terlepas dari sifat religiusnya yakni korban persembahan.  Jika dalam suatu masyarakat melakukan pelanggaran terhadap suatu aluk, maka mereka wajib mengadakan upacara pengakuan dan penghapusan dosa yang istilahnya dalam bahasa toraja yaitu Massuru’. Masyarakat yang menganut aluk ini meyakini bahwa aluk dapat memberi mereka berkat dan kesejahteraan maupun atau malapetaka dan kesengsaraan. Oleh karena itu mereka sungguh memperhatikan dan berhati-hati dalam saat melaksanakan upacara aluk mereka. Bagi masyarakat yang menganut aluk ini menjadikan aluk sebagai hukum dan undang-undang yang harus ditaati oleh semua orang dan barangsiapa melakukan sesuatu dan tidak sesuai dengan yang ditentukan aluk maka akan mendapat hukuman baik dari masyarakat umum maupun dari dewa-dewa atau nenek moyang. (Inilah yang dipahami oleh masyarakat Toraja Aluk todolo).


Berikut silsilah Pong Mula Tau sebagai manusia pertama turun ke bumi:
(Maaf gambar tak dapat ditampilkan)

Pong Mula Tau adalah anak dari Pong Bura Langi’ sebagai manusia pertama di dunia dan turun dari Rura (Langit). Pong Mula Tau kemudian menikah dengan Sanda Bilik dan melahirkan Londong di Rura dan Londong di Langi’.

   Kelahiran manusia menurut kepercayaan Aluk Todolo yaitu sebagai berikut:
v  Pertama, Datu La Ukku’ lahir di langit malalui Saun Sibarung, sebagai pemangku Sukaran Aluk.
v  Kedua, kelahiran Paung Adang, sebagai paemangku Maluangan Bata’tang (Kepemimpinan), yang dibekali kecerdasan.
v  Ketiga, juga diciptakan malalui Saun Siabarung, yaitu Pande Pong Kambuno Langi’ dengan keahlian tukang dan keterampilan.
v  Keempat, adalah Patto Kalembang sebagai nenek manusia yang terakhir di atas langit sebagai matutu ina’a atau pengabdi.

Tahapan kelahiran manusia di atas, menjadi dasar pelapisan sosial (tana’) dalam masyarakat Toraja, oleh karena tana’(Sosial) dalam masyarakat Toraja terdiri pula dari empat tingkatan yaitu;
ü  Tana’ Bulaan, adalah lapisan bangsawan tertinggi sebagai pewaris yang dapat menerima Sukaran Aluk, yang dipercayakan mengatur aturan hidup dan memimpin agama.
ü  Tana’ Bassi, adalah lapisan bangsawan menengah sebagai pewaris yang dapat menerima Maluangan Bata’tang, ditugaskan mengatur kepemimpinan dan mengajarkan kecerdasan.
ü  Tana’ Karurung, adalah lapisan rakyat biasa yang merdeka, tidak perna diperintah langsung, sebagai pewaris yang dapat menerima pande, yaitu tukang-tukang dan orang yang terampil.
ü  Tana’ Kua-Kua, adalah lapisan hamba sahaya sebagai pewaris yang menerima tanggung jawab sebagai pengabdi, biasanya disebut matutu ina’a.

Keempat lapisan sosial ini masih berlaku dan bertahan dalam masyarakat Toraja, baik sebagai dasar pergaulan, kegiatan masyarakat, (pernikahan, upacara pemakamam, pengangkatan kuasa atau pemerintah adat) semuanya menempatkan diri sesuai lapisan sosial masing-masing.[3]

Hubungan Aluk dengan Adat
Sebelum agama monoteisme masuk ke Indonesia, agama dan adat tidak perna bertentangan, (karena keduanya merupakan dua aspek dari satu sama lain). Jelas terlihat karena sebelum agama Kristen masuk ke Tana Toraja aluk dan adat adalah satu. Salah satu contohnya, Pada upacara Rambu Tuka’ atau Rambu solo’, seekor babi atau kerbau dipotong untuk dipersembahkan, kerbau itu disembelih terlebih dahulu diimbo dengan kata-kata sastra(Bersifat keagamaan). Ketika hewan dipotong, akan diambil beberapa bagian tertentu untuk dipersembahkan kemudian daging yang sisa dibagikan kepada hadirin sesuai status sosial/fungsinya dalam masyarakat dan dalam pembagiannya harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh nenek moyang. Daging yang dipersembahkan tadi tidak boleh menyimpang dari ketentuan juga. Bila tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada berarti telah terjadi pelanggaran dan yang melanggar artinya berdosa.[4] Adat-istiadat sudah melembaga ini telah memegang peran penting dalam memimpin masyarakat(dahulu) dibidang lahiria dan rohaniah(materi-spiritual).  Dengan demikian dikatakan bahwa aluk dan adat adalah satu(kait-mengkait) dan tak terpisahkan, bahkan bisa dikatakan bahwa adat bersumber dari pada aluk.[5]
II.     Ritual Kematian (Upacara Penguburan)
Dalam budaya/ adat masyarakat Toraja, Ritual kematian lebih dikenal dengan istilah Rambu Solo’, Rambu=Asap dan Solo’= turun. Dalam adat Tana Toraja, keluarga yang ditinggal wajib menggelar pesta sebagai tanda penghormatan terakhir kepada yang telah meninggal. Memang tidak dapat disangkal bahwa dalam adanya aluk (Ritus atau Lesoan Aluk) dalam rentetan upacara penguburan yang bersifat ritus. Contohnya memuja dan menghormati arwah orang yang telah meninggal melalui patung Ma’ Tau-Tau (tau=orang) yang dipuja melalui pemberian korban persembahan binatang serta tarian tertentu, salah satunya Ma’ badong. Ma’badong yaitu tarian ratapan yang diangkat bagi orang yang telah meninggal.
·         Ma’ Tau- Tau
Tau-tau (tau=orang) mempunyai nilai religius dan nilai sosial dalam kebudayaan Toraja. Tau- tau adalah patung atau boneka yang dibuat sebagai personifikasi dari seseorang yang sudah meninggal dunia. Namun yang dibuatkan patung, biasanya orang- orang yang sudah meninggal yang berasal dari golongan Bangsawan (Puang) (dirapai)’ pada saat upacara penguburannya, yaitu tau-tau nangka dan untuk bangsawan yang tidak mampu biasanya dibuatkan tau-tau lampa (lampa=bambu). Dalam membuat tau-tau ini dibutuhkan pemahat khusus atau Topande dan selama Topande membuat patung tau-tau, orang tersebut harus tidur didekat atau dibawah rumah tempat jenazah itu disemayamkan. Dalam proses pembuatan tau-tau, sebelum barang- barang dipersiapkan ataukah penebangan pohon yang akan dipakai biasanya terlebih dahulu diadakan upacara dengan mempersembahkan seekor ayam dan saat penentuan jenis kelamin tau-tau itu juga dilakukan upacara hingga pentabisannya (disabu). Tau-tau yang telah selesai dibuat akan diletakkan disamping jenazah yang akan diberlakukan selayaknya orang yang hidup seperti diberi nasi dan dikenakan pakaian/ perhiasan). Pakaian dan perhiasan yang dikenakan oleh patung menandakan status sosial orang yang telah meninggal tersebut dalam masyarakat. Saat jenazah dan patung diturunkan dari atas lumbung maka patung akan dikenakan pakain yang indah-indah. Tau-tau diberlakukan seperti ini karena orang-orang mempercayai bahwa patung tersebut memiliki jiwa dari jiwa orang yang telah meninggal tersebut (tau-tau adalah living dead). Jadi tau-tau tersebut harus dihormati disembah dan diratapi. Tau-tau juga dipakai sebagai penghubung antara manusia dan arwah orang yang telah meninggal tersebut(dipa’katui).
Ma’tau-tau ini bersangkutan dengan penyembahan terhadap arwah nenek moyang.
Ø   Topande yang sedang membuat Tau-tau.        





·       Tau-tau











·        Sebuah kuburan batu besar yang (berisi banyak peti)i dan didepannya dipanjang tau-tau. (tempat ini telah menjadi kunjungan para wisatawan) yang berkunjuk ke Toraja.

·     Ma’badong
Ma’badong yaitu tarian yang dinaikkan kapada almarhum atau almarhuma yang telah meninggal dan diiringi dengan nyanyian ratapan (syair dan nada tertentu). Tarian ini biasanya dibawakan oleh kaum lelaki dalam jumlah yang banyak dan membuat sabuah lingkarang sambil bergandengan tangan.

Pesta ritual (Upacara Pemakaman) ini dilaksanakan di sebelah barat Tongkonan (rumah adat Toraja) dengan mempersembahkan babi dan kerbau bagi arwah leluhur atau orang yang baru meninggal. Menurut kepercayaan Aluk todolo, orang yang baru saja meninggal belum dianggap “mati betul” tapi dianggap “orang sakit” dan dinamakan To Makula’ (To= orang, makula’=sakit), sehingga orang mati itu masih tetap disajikan makanan dan minuman dengan nampan dan cangkir pada setiap kali orang makan sama seperti sewaktu ia hidup dan orang yang telah meningggal ini dapat dinyatakan telah mati saat upacara pemakamannya dilaksanakan yang diawali dengan upacara di doya (duduk menunggu tak tidur = mata tidak ditutup) dan makanan yang disajikan tidak lagi diletakkan di dalam wadah tampan maupun cangkir tapi diletakkan diatas daun pisang dan gelas bambu. Hal ini dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa dengan menyajikan makanan dan minuman dengan daun pisang dan gelas bambu, maka wadah ini dapat mengantarkan sajian persembahan langsung kepada yang ditujukan.[6] Dalam upacara pemakaman masyarakat Toraja, keluarga wajib mempersembahkan kerbau dan babi sebagai persembahan mereka, jumlah yang diberikan tergantung dari status sosial mereka, yang status sosialnya paling tinggi keluarganya biasanya mempersembahkan ratusan ekor babi dan kerbau karena masyarakat aluk todolo meyakini bahwa semakin banyak jumlah kerbau yang dikorbankan, maka semakin baik tempat orang yang telah meninggal tersebut nantinya (selamat). Harapan akan keselamatan keluarga mereka ditunjukkan pula dengan cara mengusung jenazah ke atas menara (Lakkien) tempat jenazah disemayamkan selama prosesi berlangsung. Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang (tempat tamu) yang ada di tempat upacara dilaksanakan. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum nantinya akan dikubur. Dan saat itu sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas. Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari setelah prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan ma'pasilaga tedong (adu kerbau).[7] Pada peti jenazah biasanya dihiasi dengan benang-benang emas, motif matahari dan lain-lain yang menandakan status sosial orang yang meninggal tersebut.

Ø Mayat Berjalan (Aluk Todolo) Toraja Barat, Mamasa
 Sebuah ritual yang sangat penuh dengan misteri yang dimiliki oleh masyarakat Toraja (Barat) mengenai upacara penguburan yakni Mayat Berjalan.
“Cerita mayat berjalan sudah ada sejak dahulu kala. ratusan tahun yang lalu konon terjadi perang saudara di Tana toraja yakni orang Toraja Barat berperang melawan orang Toraja Timur. dalam peperangan tersebut orang Toraja Barat kalah telak karena sebagian besar dari mereka tewas, tetapi pada saat akan pulang ke kampung mereka seluruh mayat orang Toraja Barat berjalan, sedangkan orang Toraja Timur walaupun hanya sedikit yang tewas tetapi mereka menggotong mayat saudara mereka yang mati, karena kejadian tersebut maka peperangan tersebut dianggap seri. pada keturunan selanjutnya orang-orang Toraja sering menguburkan mayatnya dengan cara mayat tersebut berjalan sendiri ke liang kuburnya.”[8] Yang bisa membuat mayat berjalan hanya orang-orang tertentu saja dan bukanlah orang sembarangan. Mayat bisanya dituntun kekuburannya, namun sebelum dilaksanakannya prosesi ini, ada beberapa dari anggota keluarga wajib memberitahukan kepada masyarakat setempat bahwa akan ada mayat yang akan lewat dan orang- orang dilarang menyapa mayat yang akan lewat tersebut, karena saat mayat disapah maka mayat tersebut akan jatuh dengan sendirinya. Mayat tidak akan berjalan sendiri, namun akan ditemani oleh rombongan dan para wanita akan ikut dari belakang dengan membawa kain merah pada kepala mereka. Namun saat ini, sudah semakin jarang orang-orang yang melakukan ritual ini(mayat berjalan).

    Berikut beberapa gambar dari Mayat Berjalan yang masih disimpan oleh masyarakat Toraja.















III.      Kesimpulan
    Dari penguraian akan kepercayaan masyarakat Toraja (Aluk Todolo) serta melihat dari ritual pemakaman mereka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Toraja (dulu) masih memakai paham Animisme dan Pemujaan Terhadap Leluhur. Animisme yaitu suatu kepercayaan dari manusia religius, khususnya orang-orang pfrimitif, membubuhkan jiwa pada manusia dan juga makhluk hidup atau benda mati (kepercayaan terhadap makhluk berjiwa).[9] Dan pemujaan terhadap Leluhur yang dapat dirumuskan sebagai suatu kumpulan sikap, kepercayaan dan praktik berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang telah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan.[10] Saya berani menyimpulkan bahwa masyarakat Toraja masih menganut kedua paham ini karena setiap ritual yang dilakukan mereka masih mengarahkannya pada Arwah nenek Moyang mereka. Seperti pula saat masyarakat Toraja melaksanakan upacara pemakaman, mereka membuat suatu patung (Ma’ Tau-Tau) yang dibuat sebagai personifikasi dari seseorang yang sudah meninggal dunia yang mereka percayai bahwa jiwa patung tersebut memiliki jiwa dari jiwa orang yang telah meninggal tersebut (tau-tau adalah living dead). Bahkan orang yang telah meninggal masih diberi makanan selayaknya orang yang yang masih hidup. Pemujaan terhadap leluhur saya pikir berhubungan erat dengan struktur sosial karena  dipercaya dapat mengatur kehidupan para pemujanya. Agama suku (Aluk Todolo) ini jugalah yang telah membentuk masyarakat Toraja, baik dari aturan- aturan dan undang yang ada didalamnya. Meski banyak hal misteri yang masih terselubung didalam Aluk Todolo ini, namun masyarakat Toraja benar-benar menghayati akan kepercayaan yang mereka anut ini, dengan keyakinan bila dijalankan dengan baik akan mendapat berkat dan kesejahterann dan bila diabaikan akan mendapatkan malapetaka.


III.      Respon Gereja “Gereja Toraja” dalam menghadapi adat-adat dan ritus-ritus kematian dalam masyarakat Tana Toraja.
Bagaimana Gereja Toraja memberikan respons terhadap pandangan dan ritus-ritus kematian yang dihayati oleh masyarakat Toraja.
“Keselamatan dan kesejahteraan kita kini dan nanti tidak tergantung pada persembahan-persembahan, seperti: korban binatang, amal, kebajikan serta kesalehan kita. Orang berdosa dibenarkan di hadapan Allah hanya oleh korban Yesus Kristus.”
Dari pengakuan iman ini tampak upaya gereja untuk menegaskan ajaran Alkitab di tengah-tengah keyakinan tradisional yang mungkin sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Toraja.
Setiap ritual-ritual seperti Rambu solo’ dan Rambu tuka’ tidak akan dilarang dalam masyarakat Toraja namun hanya akan dipandang sebagai suatu kebudayaan saja. Masyarakat Toraja Kristen boleh hidup didalamnya namun mereka harus menyadari bahwa mereka adalah manusia yang sudah diperbaharui dan hidup sebagai ciptaan baru dengan nilai-nilai yang baru. Dan bila tidak ada pembaruan nilai dalam masyarakat Toraja Kristen maka belum ada manusia baru.
Contohnya saja Ma’badong (tarian yang dinaikkan kapada almarhum atau almarhuma yang telah meninggal dan diiringi dengan nyanyian ratapan) boleh dilaksanakan namun cara ma’badong antara orang Aluk Todolo dan orang Kristen (Sarani) harus memiliki perbedaan, bentuknya sama, nada dan irama identik tetapi isinya tidak sama, pembuatan Tau-tau juga tidak dilarang asalkan tidak memberlakukannya selayaknya manusia yang hidup dan Tau-tau kini hanya diterima sebagai nilai seni Toraja. Namun sampai pada saat ini, masih banyak hal yang menjadi pergumulan bagi Gereja di Toraja dalam mengantar masyarakatnya berkenalan dengan Injil. Karena masih ada beberapa orang yang masih memegang kepercayaan mereka Aluk Todolo dan aturan-aturannya. Memang dalam memperkenalkan Injil dengan masyarakat yang menganut paham mereka (Aluk Todolo) sendiri membutuhkan proses yang panjang dan tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Dalam Menyikapi ritus-ritus sebagai bagian dari adat istiadat, Pengakuan Gereja Toraja menyatakan: ”… adat tidak dapat dipisahkan dari keyakinan dan agama, sehingga kita wajib menguji setiap adat apakah ia sesuai dengan kehendak Allah atau tidak...” Tentu saja bukanlah sebuah pergumulan yang mudah, tetapi Gereja Toraja telah menyatakan sikapnya untuk menyuarakan pandangan Alkitab di tengah penghayatan terhadap adat istiadat.  Dan bagi saya secara pribadi, Gereja Toraja patut diacungi jempol karena mereka dapat hadir dan mampu berdiri dalam kumpulan masyarakat pemeluk agama Primitif (Aluk Todolo) dan berhasil membawa masyarakatnya mengenal Injil. Jadi Agama Kristen telah berhasil membawa nilai-nilai yang baru dalam masyarakat Toraja dengan ajaran bahwa Yesus Kristuslah yang menyelamatkan, keselamatan tidak tergantung dari seberapa banyak kerbau atau babi yang yang dipersembahkan, melainkan iman kita pada Yesus.
Jadi kesimpulannya ialah kita tidak boleh mempunyai apriori baik dalam hal menolak, maupun menerima aluk, adat dan kebudayaan. Setiap unsur aluk, adat dan kebudayaan yang bisa diterima melalui saringan Firman Allah sebaiknya dikembangkan secara dinamis, sedangkan yang bertentangan dengan Firman Allah dibuang jauh-jauh. Sikap kita ialah keterbukaan dalam mempelajari dan menilai konteks kita, adat dan kebudayaan, dalam ketaatan iman. Kriteria kita bukanlah adat dan kebudayaan itu sendiri dengan pendekatan-pendekatan skuler-antropologis, melainkan firman Allah secara teologis-antropologis-kultural.               

[2] Th. Kobong dkk, Aluk, adat dan kebudayaan toraja dalam perjumpaan dengan injil, Pusbag-Badan pekerja sinode gereja toraja-Rantepao, 1992, hal 5-6.
[3] Abdul Aziz Said, TORAJA, Ombak-Mei. 2004 , hal 23-25.
[4] Th. Kobong dkk, Aluk, adat dan kebudayaan toraja dalam perjumpaan dengan injil, Pusbag-Badan pekerja sinode gereja toraja-Rantepao, 1992, hal 10 dan 11.
[5] Lihat Paper halaman
[6] Abdul Aziz Said, TORAJA, Ombak-Mei. 2004 ,hal 39.
[9] Dhavamony, Fenomenologi A gama. Yogyakarta. 1995 KANISIUS, hal 66
[10] Dhavamony, Fenamenologi Agama. Yogyakarta. 1995 KANISIUS, hal 79

Jumat, 20 Mei 2011

Tayangan Kekerasan di Televisi dan Dampaknya pada Anak

Nama    : Ywardhana Septiani Bulo
NIM       : 01092270
Pendidikan Kristiani untuk Anak

Tayangan Kekerasan di Televisi dan Dampaknya pada Anak
Gunarsa Singgih

Ternyata Televisi atau TV telah menjadi bagian integral dalam kehidupan setiap orang, baik yang hidup di kota maupun di desa. Hal ini terbukti jelas setelah dilakukannya survei oleh Huston pada tahun 1992 di Amerika dan Eropa, ternyata hasilnya sangat mencegangkan, dimana ternyata kebanyakan anak dan orang dewasa menghabiskan waktu mereka di depan TV daripada menghabiskan waktu mereka dengan kegiatan lain keculi tidur. Keadaan ini sepertinya telah mengkonstruksikan akan keadaan negara kita, Indonesia saat ini karena kemajuan alat-alat teknologi. TV telah menjadi bagian esensial dari kehidupan masyarakat kita dan sangat mempengaruhi hidup seluruh anggota masyarakat. Biasanya TV memiliki program-program yang dapat dengan cepat mempengaruhi para penonton terkhusus pada cara berfikir, gaya hidup dan pola tingkah mereka. Sejak tahun 1970 di Eropa dan Amerika televisi telah menjadi bagian hidup rakyatnya dan hal ini terus diperbincangkan oleh para ahli, orang tua, pendidik, psikolog, dan sosiolog. Hasil penelitian mengatakan bahwa TV sangat memberikan pengaruh yang besar kepada emosi, kognisi, dan imajinasi para pemirsanya terlebih TV ternyata sangat mengambil peran dalam pembentukan kebudayaan. Para peneliti sosiologis Aries, Postman dan Meyrowitz di Eropa mengungkapkan bahwa masa kanak-kanak adalah masa penting dalam pembentukan mentalitas dan kebudayaan seorang individu. TV sangat mengambil peran dalam hal ini, TV membentuk pola berfikir yang baru bagi anak dan mempengaruhi perilaku mereka. TV juga menciptakan stereotip- stereotip rasial, seksual maupun stereotip lainnya melalui program dan iklannya. Para orang tua dan pendidik harus menyadari pengaruh TV kepada anak bagaimana para orang tua menambil peran dalam membimbing anak dalam menghadapi program TV. Program yang ditayangkan dalam TV sebagian besar mengandung tayangan kekerasan secara langsung atau secara terselubung. Kekeraan yang ditayangkan dalam TV ini dapat menimbulkan perilaku agresif pada anak khususnya remaja. Banyak penelitian membuktikan bahwa tayangan kekerasan ini sangat mempengaruhi kehidupan anak-anak dan remaja, seperti halnya anak tidak memiliki kepekaan pada penderitaan orang lain Dr. George dari School of Communications, Univ. Pennsylvania (1996) bahwa penayangan yang teratur dan berjangka panjang tindak kekerasan memperparah perasaan, ketergantungan, dan ketidakpekaan terhadap anak. Sehingga tidak wajar bila seorang anak biasa melakukan tindakan kekerasan kepada temannya. Yang kedua meningkatkan rasa tidak aman, penelitian dilakukan kembali oleh George di Amerika dan menyatakan bahwa tayangan film untuk anak yang berisikan 20 aksi kekerasan dan anak yang menyaksikan tayangan yang berisikan akan kekerasan akan berpendapat bahwa ternyata dunia ini tidak dapat memberikan rasa aman dan nyaman dan dunia ini merupakan tempat persaingan, jika kita ingin bertahan maka kita harus menyingkirkan orang lain. Yang terakhir ialah anak biasanya berperilaku kasar dan agresif setelah menonton tayangan kekerasan di TV. Leonard dkk dari Univ. Illinois mengungkapkan bahwa anak setelah menonton tayangan kekerasan akan lebih memperlihatkan perilaku agresif kepada teman-temannya di sekolah.
                Memang sulit dipungkiri bahwa tayangan kekerasan sangat dominan dalam program di TV. Pemimpin industri pun tetap menayangkan acara-acara ini karena mereka menduga bahwa penonton lebih tertarik menonton tayangan kekerasan dalam TV dan tayangan kekerasan ini sepertinya dapat memeberikan sensasi emosi bagi para penontonnya. Namun menurut beberapa penelitian bahwa tayangan kekerasan memproduksi dalam diri para penonton suasana hati yang tidak nyaman sehingga memudahkan mereka untuk cepat marah. Hal ini bila terjadi pada anak sangat berbahaya, karena anak bisanya masih sangat sulit membedakan antara adegan khayal dan adegan sesungguhnya. Berikut eberapa teori yang dapat memberikan peahaman akan apa yang terjadi dalam diri anak saat mereka menyaksikan tayangan kekerasan:
·         Teori Modeling Banduraà menurut Albert Bandura, proses belajar terjadi melalui peniruan terhadap perilaku orang lain yang dilihat oleh anak. Anak akan melihat perilaku orang dan menirunya. Bandura melakukan beberapa penelitian yang memberikah kesimpulan bahwa hanya melaui “melihat” anak dapat belajar perilaku yang nantinya akan ditiru oleh mereka. Setelah melihat, biasanya anak tidak langsung memberikan respon, namun anak menyimpannya dalam bentuk kognitifnya. Dan ketika anak menghadapi sebuah situasi yang sama dengan yang pernah dilihatnya dan tersimpan dalam kognitifnya, maka secara spontan apa yang telah terekam dalam kognitinya inilah yang akan menentukan perilakunya. Bisanya anak melihat aksi kekerasan di TV, film-film dan play station. Semua hal inilah yang akan memberikan pengaruh yang positif dan negatif bagi anak. Menurut teori belajar sosial, perilaku anak-anak diperoleh melalui pengamatan yang turut serta membentuk kepribadiannya.
·         Teori Ekologià Albert Bandura dan Urie Bronfenbreener, mengatakan bahwa lingkungan sosiokultural sangat mempengangaruhi perkembangan seseorang yang dibagi dalam lima sistem lingkungan. 1]Mikrosistem, setting dimana individu tersebut hidup yang konteksnya ialah keluarga, sekolah dan teman-teman. Mikrosistem sangat mengambil peran dalam pebentukan kepribadian seseorang karena disinilah seseorang menyerap nilai-nilai dalam berperilaku. Mesosistem dimana anak dan hubungannya dengankeluarga, pengalaman sekolah, pengalaman keagamaan dan teman-temannya. Eksosistem, yang menyangkut masalah pengalaman individu dalam kehidupan sosial namun indibidu tidak memiliki peranan aktif. Makrosistem, hal ini berhubungan akan keadaan budaya seseorang. Budaya dapat meberikan penaruh yang besar kepada seorang anak. Kronosistem, pemolaan peristiwa-peristiwa lingkungan dan transisi sepanjang rangkaian kehidupan serta keadaan sosio-historis. Ekologi, Bronfenbreener mengungkapkan bahwa lingkungan sangat berperan dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian seorang anak seperti keluarga, sekolah dan masyarakat, bahkan berbagai tayangan kekerasan yang ada dalam TV, film play station dan sebagainya juga dapat memberi pengaruh besar dalam perkembagan kepribadian anak.
·         Teori Psikoanalisisà Sigmund Freud sangat menekankan pentingnya masa kanak-kanak dalam perkembangan kepribadian seseorang. Anak dalam pertumbuhannya akan melakukan proses identifikasi, anak mengambil alih tindakan orang lain yang nantinya akan menjadi bagian dalam kepribadiannya sendiri. Anak mengidentifikasikan diri dengan orang tuanya atau tokoh lain yang lebih signifikan. Identifikasi tidak sama dengan meniru (imitasi), meniru sifatnya sementara sedangkan identifikasi berlangsung secara tidak langsung dan bersifat permanen pada kepribadian anak.
Dari ketiga teori inilah maka ditarik kesimpulan bahwa, tayangan kekerasan dapat memberi dampak negatif pada anak kerena sifat anak cenderung meniru perilaku orang lain dan bila anak terlalu banyak mengobservasi tindakan kekerasan dalam TV maka akan ada pengaruh negatif yang akan berdampak pada kepribadian sang anak. Dari sinilah orang tua dan para pendamping anak mengambil peranan penting, kita harus memberika pengaruh yang lebih positif agar anak dapat menerima hal yang positif untuk anak terapkan dalam kehidupannya.
Dan bagaimana orang tua, guru dan pendidik dalam menangasi sikap ini? orang musti menjadi model yang baik bagi anak, karena lingkungan pertama anak yang paling cepat ditiru ialah orang tau dan keluarga. Bagaimana keluarga hadir memberikan kehangatan bagi anak belajar menghargai anak. Mungkin orang tua dapat menjadi model bagi anak lewat cara berbicara, menghormati orang lain, kebaikan hati, bagaimana menghargai orang lain dan penuh dengan cinta kasih. Seharusnya orang tua juga memberikan batasan-batasan saat anak menonton TV. Dan saat anak menonton TV ada baiknya orang ikut mendampingi. Orang tua dapat mengajak anak menonton tayangan yang mengarah kepada pendidikan. Setelah menonton oran tua bisa mengajak anak untuk brrdiskusi bersama. Guru dan para pendidik juga memiliki peran yang tak kalah penting, guru dapat menggunakan beberapa program di TV dalam proses mengajar, guru dapat membantu anak dalam menggunakan program TV secara bijaksana. Guru juga dapat mengajak anak berdialog bersama tentang acara TV dan guru mengecek tentang pemahaman dan apa yang anak peroleh setelah menonton TV.
Dalam bidang pendidikan guru dan para pendidik juga harus mengembangakan sikap kristis anak dalam menilai tayangan di TV. Karena berbagai tayangan di TV mengandung unsur kekerasan dapat mempengaruhi pemikiran, emosi dan imajinasi anak. Kita tidak dapat melarang stasiun TV tidak menayangakan program-program yang berisikan kekerasan, maka orang tua dan keluarga harus berperan dalam menemani anak memahami tayangan-tayangan yang ditonton oleh anak sehingga anak dapat mencerna lebih baik isi tayangan tersebut. 

God Bless :)

Reorientasi Pemahaman terhadap Keterbelakangan Mental

Nama    : Ywardhana Septiani Bulo
NIM       : 01092270
Pendidikan Kristiani untuk Anak

Reorientasi Pemahaman terhadap Keterbelakangan Mental
Dalam bab ini banyak membahas masalah keterbelakangan mental yang dialami oleh anak bahkan keluhan dari para orang tua akan kondisi anak mereka yang termasuk golongan anak keterbelakangan mental. Keluhan utama dari para orang tua dalam menghadapi anak keterbelakangan mental yakni dalam hal belajar terutama dalam lingkungan sekolah anak. Hal lain dari itu ialah orang tua juga kesulitan dalam membawa anak mereka ke dalam lingkungan pergaulan dengan teman sebayanya maupun berinteraksi dengan orang lain. Biasanya banyak orang beranggapan bahwa seseorang  atau anak yang memiliki keterbelakangan mental sama halnya dengan anak idiot yang memiliki keterbatasan intelektual atau IQ.  Jadi paradigma orang- orang terhadap anak yang memiliki keterbelakangan mental ialah anak yang tidak akan bisa melakukan sesuatu yang lebih lagi karena keterbatasan IQ mereka, namun ternyata fungsi intelegensi yang dilambangkan dengan IQ bukanlah satu- satunya kriteria penentu apakah seseorang terbelakang atau tidak karena untuk memahami tentang anak yang mengalami keterbelakangan mental perlu diketahui terlebih dahulu akan kriteria melalui diagnosa, identifikasi, pengukuran secara psikologis dan faktor- faktor penyebab. Dalam memahami anak yang mengalami keterbelakangan mental tidak akan hanya dinilai dari skor tes intelegensinya yang berada di bawah normal, melainkan juga harus diperhatikan akan kemampuan adatifnya dimana hal berkaitan dengan kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan hidup sehari- hari misalnya bagaimana mereka dapat berkomunikasi dengan orang lain, kemampuan sosial, akademis, maupun bagaimana cara mereka memperlakukan diri mereka sendiri dengan cara yang baik dan benar. Jadi dari hal ini dapat terlihat bahwa kemampuan adaptif sangat memegang peranan penting sebelum kita mengklasifikasi seseorang atau anak mengalami yang disebut keterbelakangan mental. Tingkah laku adaptif juga sangat dipengaruhi oleh pertambahan usia, keadaan keluarga, lingkungan maupun budaya tempat seseorang atau anak itu tinggal dan perkembangan kemampuan adaptif seseorang ataupun anak membutuhkan pengukuran secara psikologis juga. Hal yang sama juga dikemukakan juga oleh Edgar Doll bahwa memang pentingnya memperhitungkan terlebih dahulu akan kemampuan adaptif seseorang untuk menyatakan dia mengalami  keterbelakangan mental atau tidak dan tidak hanya melihat dari sisi skor intelegensinya. Keterbelakangan mental juga bukanlah suatu penyakit namun banyak juga kondisi yang mempengaruhinya, salah satunya ialah abnormalitas kromosom dan yang paling populer ialah down syndrome atau trisomy 21 dan keterbelakangan mental sebenarnya muncul sejak seseorang lahir maupun sejak masa kanak- kanak.  Namun sebenarnya jika kita meneliti lebih dalam, ternyata juga seseorang yang memiliki keterbelakangan mental kondisi intelektualnya sangat mempengaruhi akan sikap hidupnya sehari- hari. Hal ini juga sangat berpengaruh akan keadaan kemampuan kognitif terutama dalam hal berbicara dan lain sebagainya biasanya juga anak yang memiliki keterbelakangan mental perkembangannya lebih lambat jika dibandingkan dengan anak normal lainnya namun sebenarnya anak keterbelakangan mental juga akan tetap bertumbuh seperti anak normal seperti pada umumnnya, hanya saja kita akan lebih mudah melihat perbedaan- perbedaan mereka dengan anak yang normal atau tidak memiliki keterbelakangan mental.
God bless.

APA YANG DAPAT DILAKUKAN DALAM MENJEMBATANI ANTARA SEKULARISME DAN AGAMA AGAR BISA BERJALAN SEIRINGAN

Nama                    : Ywardhana Septiani Bulo
NIM                      : 01092270
Mata kuliah           : Sosiologi Agama
Pengajar                : Farsijana Adeney-Risakotta, Ph.D.
                                                                                                                                                               
APA YANG DAPAT DILAKUKAN DALAM MENJEMBATANI ANTARA SEKULARISME DAN AGAMA AGAR BISA BERJALAN SEIRINGAN

Menurut Prof. Giri, “...sekularisme tidak bisa menjamin toleransi dalam masyarakat mejemuk. Tetapi agama-agama juga gagal sebagai harmoni dalam bangsa-negara pluralis....”[1]
Mungkin sangat sulit dalam menyatuhkan antara keadaan dunia yang sekulerisme dan agama. Lihat saja, sekularisme sekarang ini terlihat sudah tidak lagi memiliki  rasa hormat dan mengabaikan akan keberadaan agama disampingnya. Dunia sekularisme yang hadir sekarang ini telah menjadi alat untuk memimpin dengan kekuasaannya dan menindas masyarakat beragama. Namun disisi lain, agamapun hadir dalam memaksakan kehendaknya (dengan sikap totaliter) kepada rakyat atas keyakinannya sendiri, dan terkadang kembali menyalahkan akan dunia sekularisme. Agama yang seharusnya hadir sebagai pembawa damai(Syalom) dan menyatuhkan keadaan yang buruk dalam dunia justru hadir dengan keadaan yang sebaliknya, berusaha untuk memimpin dan berkuasa dengan pahamnya sendiri, saya sangat setuju dengan apa yang diungkapkan oleh Prof Giri dan Ibu Adeney-Risakotta bahwa pemisahan agama dan kekuasaan sangat dibutuhkan, agama seharusnya mengosongkan diri dari keinginan berkuasa. Serta dunia sekularisme yang begitu sinis terhadap agama yang seharusnya mendukung kehadiran agama malah memandangnya sendiri sebagai sesuatu yang menentang mereka. Lantas bagaimana mempersatukan antara keduanya agar dapat berjalan seiringan, serta usaha yang harus dilakukan dalam menjembatani keduanya?? Meski penyatuhan akan sekularitas dan agama pada akhirnya akan memperoleh jalan buntu, namun bukan berarti kita akan berdiam diri saja. Prof Giri dalam artikel Ibu Adeney-Risakotta, mengusulkan adanya semacam evolusi spiritual yang tidak terkait dengan agama tertentu, tetapi dibangun melalui “transendensi”, praktik sosial non-dualisme. Dari hal ini dapat menolong agar agama dan sekularisme dapat berjalan bersamaan, namun tidak menojolkan agama tertentu saja.
Salah satu contoh praktek sosial dengan evolusi spiritual dalam dunia sekularitas sekarang ini yaitu, dari hasil presentasi kelompok kami yang melakukan penelitian kepada sebuah sekolah, SDKE Mangunan yang terletak di desa Manguan, Kelurahan Kalitirto Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. SDKE Mangunan adalah sebuah lembaga pendidikan yang memiliki konsentrasi kepada pendidikan bagi kaum miskin, namun pada tahun 2004, SDKE Mangunan mulai terbuka untuk umum, baik kepada anak yang autis, hiperaktif, cacat, dan kaya, sistem yang dipakai oleh sekolah ini adalah sistim subsidi, jadi para murid akan membayar iuran sekolah mereka tergantung dari kemampuan orang tua dalam membiayai anaknya selama sekolah di SDKE Mangunan ini.[2] Sebenarnya SDKE Mangunan sendiri didirikan dengan dasar agama Katolik dan atas konsep dasar pemikiran dari Romo Mangun yang prihatin  akan warga sekitar Mangun yang belum sempat mengecap pendidikan dikarenakan faktor biaya. Karena jika meneliti lebih jelas lagi bahwa orang tua murid kebanyakan hanya berpenghasilan minim. Dan pada akhirnya, didirikanlah sekolah ini. Namun di sekolah ini, mengajarkan konsep keadilan dengan yang berbeda. Disekolah ini menerapkan paham non-dualisme. Meski dibangun berdasarkan atas agama Katolik, namun siswa yang non-Katolik tidak dipaksakan atau diajarkan pendidikan agama Katolik. Di sekolah ini pendidikan agama ditiadakan agar tidak adanya agama tertentu yang akan ditonjolkan. hal ini juga dilakukan agar sekolah ini tidak jatuh kepada humanisme, karena hanya akan kembali kepada visi dan misinya[3]. Sekolah ini juga sangat disambut hangat oleh masyarakat disekitarnya dan tidak ada jarak sama sekali yang memisahkan sekolah dan masyarakat setempat. Sekolah ini patut diacungi jempol, karena usahanya yang keras demi memperjuangkan pendidikan bagi masyarakat kecil. Sekolah ini merupakan sebuah contoh dari komunitas agama sebagai sebuah institusi masyarakat yang berevolusi. Saya mengatakan sekolah ini patut diacungi jempol karena dengan kuatnya sekolah ini dapat berdiri ditengah keprihatinan terhadap dunia pendidikan lebih sering mengemuka. Dunia pendidikan tak hentinya dirudung hujan kritik. Baik dari konsep kurikulum, pelaksanaan di lapangan, berkembangnya kapitalisme dalam pendidikan, dan juga campur tangan birokrasi yang berlebihan. Pendidikan mestinya mengabdi pada kepentingan dan pemekaran diri anak, tapi kenyataannya mengabdi pada kepentingan industri, pemerintah, gengsi orang tua dan kepentingan lain tanpa menghargai kebutuhan anak. Berbagai masalah pendidikan itu di era reformasi tidak berkurang. Pemetaan persoalan-persoalan pendidikan melulu pada dari hal-hal sekunder dan teknis, seperti gedung sekolah hancur, nilai angka, dan kertas sertifikasi. Dan sekolah ini mampu berkembang dan bertahan di dalam dunia sekularitas yang dengan persaingan-persaingan yang begitu ketat dan tajam.
Jadi kesimpulan saya, agama dan sekularisme janganlah dipandang sebagai sesuatu yang sulit berjalan seiringan dan selalu bertentangan. (meski terkadang ada beberapa faktor yang menyebabkan keduanya masih sulit bersatu, salah satunya yakni sekularisme yang lebih mengarah kepada hal dunia dan agama lebih mengarah kepada hal yang bersifat rohani). Keduanya dapat berjalan seiringan dengan cara evolusi spiritual yang akan membantu mengatasi ketegangan kedunya dari pandangan yang berbeda. Menurut hemat saya, sekularisme dan agama boleh-boleh saja saling memberikan kritikan, namun kritikan yang diberikan harus saling membangun demi kesejahteraan masyarakatnya dan rasa kebersamaan. Jangan sampai hal ini juga diikat hanya oleh karena adanya kepentingan individu-individu tertentu didalamanya. Sayapun setuju bila sekularisme yang ada sekarang ini harus memberikan rasa hormat mereka terhadap agama dan dunia mereka, sebaliknya agama juga harus menghargai akan perkembangan keadaan dunia sekarang yang semakin modern, namun agama boleh mengkritik sekularisme juga demi masyarakat yang adil dan beretika.













Saya berterima kasih kepada Ibu Farsijana Adeney-Risakotta yang dalam hal ini sebagi Dosen pangajar mata kuliah Sosiologi Agama, yang telah menolong saya dalam memahami mata kuliah ini dan terlebih telah menolong saya dalam mengasah kemapuan  dalam memahami bahwa agama sebagai suatu fenomena yang berakar dalam masyarakat serta metode pangajaran yang mengajak mahasiswa langsung terjun ke lapangan untuk melakukan penelitian, dan dari penelitian ini saya pikir sangat bermanfaat demi pengalaman baru dan bertambahnya wawasan kita. Mata kuliah ini juga sangat membantu saya dalam memahami akan mata kuliah yang lain. God Bless..:-)


[1] Lihat komentar penelitian Adeney-Risakotta, evolusi spiritual sebagai persyaratan masyarakat sekular?, hal 128
[2] Lihat Paper Presentasi Kelompok 10, Komunitas agama(Kanisius) membangun pelayanan sosial yang berkeadilan, tgl 14 Apr 2010
[3] Visi dan Misi SDKE Manguan: Menghadirkan pusat pendidikan yang mendidik tidak hanya dari segi akademis tetapi mangasah kreatifitas, dan memperhatikan kaum dari kelas sosial menegah ke bawah sebagai sasaran nara didik yang utama